google ads

Friday 17 October 2008

Biar PRT asal di Jakarta

Biar PRT asal di Jakarta

SP/YC KURNIANTORO

Para penumpang kereta api Fajar Utama baru saja tiba dari kampung halaman mereka, di Stasiun Senen, Jakarta, pada arus balik Lebaran 2008.

** missed drop char **Memangnya apa urusan pemerintah membatasi orang mencari kerja ke kota besar, kalau pemerintah tidak juga bertanggung jawab memberikan lapangan kerja dan penghasilan yang memadai di desa-desa? Jangan hanya pandai menetapkan dan memungut pajak tetapi mana tanggung jawab pemerintah untuk menyejahterakan rakyat jelata?" ujar Purnami (29), salah seorang tenaga kerja asal Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, saat menunggu kedatangan bus malam di Terminal Bus Arjosari, Malang, yang akan membawanya ke Terminal Bus Pulogadung, Jakarta, Selasa (7/10) petang.

Purnami tidak sendirian. Ia ditemani Aminah (22), perempuan muda lulusan SMA swasta di Singosari, Kabupaten Malang. Keduanya berangkat ke Jakarta, menyusul ajakan tetangganya, Saidi (33), pekerja bengkel mobil di kawasan Jatinegara yang menjanjikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan atau penjaga toko di Ibukota. Upah yang dijanjikan berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per bulan. Mereka tak khawatir bakal dijerumuskan ke lembah hitam, karena Saidi adalah kakak kandung Purnami.

Keterampilan yang terbatas membuat mereka sulit mendapat pekerjaan dengan gaji lumayan. "Yang kami punya cuma tenaga dan siap bekerja dengan rajin. Biar hanya jadi PRT, asalkan di Jakarta, ibukota negara," ujar Purnami, yang mengaku juga lulusan SMA swasta.

Dia pernah tiga tahun bekerja sebagai penjaga toko, kemudian menjadi buruh pabrik di Kota Malang dengan upah Rp 800.000 per bulan. Ia memilih meninggalkan pekerjaan di pabrik dengan harapan mampu mengubah nasib di Jakarta, kendati harus menjadi PRT.

Pengakuan yang sama disampaikan Aminah. Sejak lulus SMA tiga tahun lalu, ia belum juga mendapat pekerjaan. Ia hanya membantu ayahnya membuka toko kecil-kecilan. Ia ingin mengumpulkan modal untuk memperbesar toko. "Biar saya bekerja di toko atau PRT sekalipun, asal itu halal dan jauh dari rumah," ujar dara berparas manis itu.

Sama dengan Purnami, ia pun tertarik mengadu nasib di Jakarta karena tergoda tayangan televisi yang menunjukkan, betapa mudahnya mencari uang di Ibukota.

Kota Medan

Tak hanya Jakarta, Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara pun menjadi harapan kaum urban. Jelita (19), warga Desa Aras Napal, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, mengaku selama ini hanya membantu orangtua bertani. "Memang enggak ada pekerjaan selain bertani. Hasilnya hanya pas untuk makan. Kalau di Medan kan enak. Walau enggak sekolah tinggi-tinggi, bisa mengandalkan tenaga," kata gadis tamatan SD itu.

Perempuan yang belum pernah menginjak Medan itu diajak teman sekampung yang telah bekerja selama enam bulan sebagai PRT di Kota Medan. Ia dijanjikan bisa bekerja sebagai PRT dengan penghasilan Rp 300.000 per bulan.

Selain bekerja sebagai pembantu atau sopir, masih ada "pekerjaan" informal lain di kota-kota besar. Menurut pengakuan Sugito (54), penduduk musiman asal Wonoayu, Sidoarjo, ia sudah lima tahun menetap di Surabaya. Dengan berbekal KTP yang sudah habis masa berlakunya, ia bisa melanjutkan kehidupan dengan menjadi pedagang asongan. Usaha itu gagal, dan kini Sugito terpaksa menjadi gelandangan. "Dua kali saya ditangkap Polisi Pamong Praja, karena KTP mati. Saya kemudian ditampung di Lingkungan Pondok Sosial milik Pemkot Surabaya, tetapi berhasil kabur dan kini menjadi gelandangan," katanya.

Magnet

Terkait arus urbanisasi, khususnya ke Jakarta, pakar otonomi daerah dari FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, M Mas'ud Said mengatakan, jika ingin mencegah terjadinya urbanisasi harus ada penggabungan antara pembangunan sektoral dan pembangunan kewilayahan. Jakarta yang menjadi magnet bagi kaum urban, harus melepas satu per satu predikatnya. Jakarta jangan lagi menjadi pusat segala aktivitas.

Di negara-negara maju, satu kota paling banyak menyandang dua predikat. Misalnya, pusat perdagangan dan industri atau pusat pertahanan, pariwisata, atau budaya saja. "Tidak ada pusat pemerintahan digabung dengan pusat industri, pusat perdagangan, dan pariwisata," ujarnya.

Di Australia, lanjutnya, Sidney ditetapkan sebagai kota industri pariwisata dan perdagangan, sementara Canberra sebagai pusat pemerintahan. Di Amerika Serikat, Washington DC menjadi pusat pemerintahan, sedangkan pusat perdagangan di New York City. Demikian juga dengan di Jepang. "Mengapa Bappenas tidak mencontoh negara-negara maju dalam memilih strategi pembangunan," ujarnya menyayangkan.

Semua aktivitas pembangunan terpusat di Jakarta dan sekitarnya. Jika pembangunan dilakukan secara sektoral dan kewilayahan, pemerataan akan terwujud dan penduduk tidak akan tertarik berurbanisasi, karena daerahnya sudah kaya dan makmur, seperti Jakarta. [070/151/080]

No comments: